Forum Diskusi
Author | Post | |
nata - nagawe | Selasa, 3 Maret 2020 21:15:28 | |
post : 11 (0.21%) Bergabung : 03/03/2020 User | Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Kampus Majalengka (UNMA) mengatakan menampik pada RUU Omnibus Law. Mereka memandang, RUU itu tidak prorakyat. Ketua BEM UNMA, M. Yusril Amin memperjelas, langkah Pemerintah dalam merampingkan UU jadi Omnibus Law terakhir malah tidak menggambarkan semangat keterpihakan pemerintah pada nasib rakyat. Memang, salah satunya momen utama di Tanah Air yang lumayan banyak mengambil alih perhatian kita ini hari ialah bahasan Omnibus Law. Omnibus Law ialah seperti UU ‘sapujagat’. Masalahnya Omnibus Law menyatukan beberapa ketentuan yang intisari pengaturannya tidak sama jadi satu ketentuan pada sebuah payung hukum (UU). Pemerintahan Presiden Jokowi mengenali minimal ada 74 UU yang terpengaruh dari Omnibus Law. Diantaranya, yang terbanyak menyebabkan protes golongan buruh, ialah bidang ketenagakerjaan, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Di bidang ketenagakerjaan, Pemerintah merencanakan meniadakan, mengubah serta meningkatkan klausal berkaitan dengan UU Ketenagakerjaan . Sebagai masalah, banyak pengamat mensinyalir Omnibus Law tidak lebih adalah UU ‘pesanan’ dari beberapa entrepreneur atau beberapa pemilik modal. Kenyataannya, Omnibus Law ini, oleh beberapa pengamat, diduga banyak memberi keringanan nama bayi laki laki pada beberapa entrepreneur serta pemilik modal untuk lebih bebas kuasai beberapa sumber kekayaan alam negeri ini. Omnibus Law ini sedikit memihak pada kesejahteraan rakyat, terhitung beberapa buruh. Contoh, dengan alasan untuk keringanan investasi, diindikasikan ada pasal-pasal dalam Omnibus Law yang meniadakan sertifikasi halal serta perda syariah, penghilangan gaji minimal, penghilangan bermacam cuti (seperti cuti nikah, haid, melahirkan, beribadah serta cuti keluarga meninggal dunia), penghilangan izin lingkungan serta amdal, dan sebagainya. Lebih dari itu, Omnibus Law ini ditunjuk memberi wewenang yang begitu luas pada Presiden. Salah satunya, Presiden berkuasa mengubah UU cuma lewat PP (Ketentuan Pemerintah). Sesudah diketahui oleh publik, klausal mengenai wewenang Presiden itu diklaim cuma ‘salah ketik’. Akan tetapi, hal tersebut tidak tutupi keraguan jika lewat Omnibus Law ini ke depan Presiden akan semakin otoriter. Ditambah lagi bahasan Omnibus Law yang tentukan nasib beberapa ratus juta rakyat negeri ini berkesan diam-diam serta dirahasiakan oleh Pemerintah. Tidak menyertakan publik benar-benar. Bila benar tuduhan jika Omnibus Law adalah ‘pesanan’ beberapa entrepreneur serta pemilik modal, karena itu hal tersebut cuma membetulkan pernyataan Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), belakangan ini. Pokoknya menyebutkan jika Indonesia telah lama dikendalikan oleh beberapa pemilik modal. Dia menyebutkan pemodal cukup merogoh biaya Rp 1 Triliun untuk kuasai parpol di Indonesia. Menurut Bamsoet, nominal itu berdasar pengalamannya sepanjang beraksi di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp 1 Triliun bisa kuasai parpol. Ini pengalaman. Bisa dibantah atau mungkin tidak, tetapi berikut fakta skema yang masih dipertahankan,” katanya, Senin (17/2) di Jakarta. Dia juga menjelaskan perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal bisa sebagai wakil kebutuhan asing. Serta yang lebih kronis, pemilik modal lewat orang-orangnya dapat memengaruhi kebijaksanaan parpol. “Jika parpol dikendalikan karena itu ia akan kuasai Parlemen. Bila ia kuasai Parlemen karena itu ia akan kuasai beberapa pasar serta sumberdaya alam kita. Dialah yang memiliki hak mengangkat siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur serta walikota, sebab skema yang kita memiliki,” imbuhnya. Menurut Bamsoet juga, perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal serta kebutuhan asing membuat distribusi keadilan sosial atau ekonomi jadi jomplang. Mengakibatkan, cuma segelintir orang yang nikmati kue pembangunan, sedang lainnya terpinggirkan (Mediaindonesia.com, 17/02/2020). Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet seakan ingin menjelaskan partai politik serta beberapa petinggi kita sebenarnya tidak kurang sekedar hanya proxy, boneka dari beberapa pemilik modal. Mereka ialah beberapa orang yang dimodali untuk jalankan jadwal kebutuhan beberapa pemilik modal. Urusannya tidak jauh dari perebutan sumberdaya alam serta ekonomi lewat politik kekuasaan. Diantaranya lewat pengerjaan Omnibus Law. Lumrah bila Omnibus Law makin banyak memihak pada beberapa pemilik modal daripada ke kebutuhan rakyat banyak. Dari paparan singkat di atas, jelas jika skema demokrasi sejauh ini cuma melahirkan oligarkhi dan perselingkuhan penguasa serta entrepreneur (beberapa pemilik modal). Efeknya, demokrasi sebenarnya cuma melahirkan diktator minoritas. Mereka ialah sekumpulan kecil penguasa serta beberapa pemilik modal itu. Mereka sebenarnya yang memaksa penerapan UU serta kebijaksanaan hanya untuk penuhi tekad serta kebutuhan mereka. Bukan untuk kebutuhan serta kesejahteraan rakyat. |